Si Gondrong Bernama Gundul (Siapa Gundul?) #1
29 December 2017
Add Comment
Sebut saja orang yang berambut gondrong, berbadan kekar dan berkulit hitam itu dengan nama Gundul. Meskipun gondrong dirinya selalu saja meminta untuk dipanggil Gundul. Lebih dari sepuluh tahun aku berteman dengannya, kata gundul memang begitu melekat dalam dirinya. Dulu sewaktu kecil, teman-teman sebayanya (termasuk aku) sering mengatakan dirinya sebagai “Gundul Pekok” (Jawa: Pekok = Bodoh).
Dulu badannya kecil, kurus, kulitnya hitam pekat, kepalanya gundul dan saat bermain tak pernah mengenakan baju. Katanya, ia selalu kepanasan jika harus mengenakan baju. Tak heran jika ada salah satu dari kami menghinanya dengan sebutan Tuyul hidup. Sungguh keterlaluan.
Belum lagi tentang gelar pekok yang ia sandang dari teman-temannya, membuat hari-harinya penuh dengan bullyan. “Ndul, siji tambah siji piro (satu tambah satu berapa)?” tanya kami saat itu. Dengan percayanya Gundul menjawab, “Yo, siji lah”. Dan saat itulah dunia kami penuh dengan tawa. Bahkan ada dari kami yang sangat arogan, dengan lantang ia berkata, “Wes cilik pekok, kok yo urip! (Sudah kecil bodoh, kok ya hidup!).”
Sekilas cerita itu terjadi sekitar 7 tahun yang lalu, kini Gundul sudah remaja, usianya 17 tahun. Usia yang seharusnya duduk dibangku sekolah tingkat atas (SMA/Sederajat), tapi ia hanya mampu mengantongi ijazah tingkat SMP. Kini hidupnya hanya diisi dengan menjadi buruh harian lepas, menjadi seorang arsitek. Ya, arsitek, bagian tukang aduk semen bangunan.
***
Minggu yang membosankan, Gundul menikmatinya hanya dengan santai dirumah, duduk di kursi bambu buatannya sendiri. Sebuah buku dan segelas kopi hitam menemaninya, tak ketinggalan rokok Pall Mall juga hadir sebagai penenang suasana. Borongan sebuah proyek bangunan di kampus 3 bulan yang lalu mampu memberinya hasil satu buah buku, yang lain hanya mengalir untuk hutang.
Buku itu membuatnya menjadi orang yang kebingungan, ia jadi skeptis, bahkan ia pun bingung sendiri akan dirinya. Pernah ia bertanya padaku tentang kebenaran antara dunia nyata dan dunia mimpi, ini ia tanyakan ketika kami bertemu di warung Nasi Goreng.
“Bro, mana yang benar, dunia nyata atau dunia mimpi?” tanyanya seakan seperti guru yang memberi test lisan.
“Dunia nyata lah, Ndul,” jawabku yakin.
“Kalau dunia nyata itu yang paling benar, kenapa saat di dunia mimpi, aku mengalami dan merasakan apa pun yang terjadi disana seakan sama dengan di dunia nyata? Dan di dunia nyata pun aku mengalami yang sama pula.”
“Bukankah memang begitu?”
“Ahh.., Bro, jadi mana yang benar, dunia mimpi atau di dunia nyata ini?”
“Keduanya.”
“Tak mungkin kebenaran itu ada dua, pasti hanya ada satu.”
“Berarti bukan tentang dunia nyata atau dunia mimpi itu yang benar, Ndul,” ungkapku yang mulai menemukan sesuatu.
“Maksudmu?”
“Jadi, mau kau ada di dunia nyata atau dunia mimpi, di saat kau merasa bingung dan berpikir, kebenaran yang pasti adalah keberadaan akan dirimu, kau itu benar-benar ada saat meragukan hal itu.
“Maksudmu, aku bukanlah apa yang tampak ini?”
“Maksudnya, kau pasti tak bisa meragukan lagi tentang kebenaran adanya dirimu. Kau merasa ragu akan dunia nyata dan dunia mimpi, tapi disaat kau berpikir ragu seperti itu, tak mungkin terbantah lagi tentang kebenaran adanya dirimu. Entah saat kau ada di dunia nyata atau dunia mimpi. Saat kau bertanya tadi (Aku bukanlah apa yang tampak ini?) keraguanmu membuatmu berpikir, dan saat berpikir itulah kau sejatinya ada.”
"Berarti aku sejatinya bukanlah bentuk fisik ini, sebab aku merasakan hal-hal yang sama di antara dua dunia itu."
"Ingat kata pak Zahwan, guru ngaji kita, kita ini hanyalah ruh, wujud fisik kita ini hanya pinjam dari tanah. Dan kita harus...."
"Ya, aku ingat ucapan bapak itu. Tapi, tentang konsep dua dunia tadi hingga menemukan keberanan tentang 'aku', rasanya aku pernah membaca konsep itu,” potong Gundul yang alam sadarnya mulai terbuka.
“Ahh, motong saja kau ini. Ingatlah, Desca..,” ucapku memberi kode.
“Ya, Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada. Jadi begitukah maksud dari Descartes?”
“Begitulah yang kuingat, Ndul.”
Percapakanku di warung Nasi Goreng itu hanya bagian terkecil akan keskeptisannya. Makin lama aku bertemu dengannya, makin banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Kadang aku bisa meladeni pertanyaannya, pun kadang juga aku bingung dengan pertanyaannya. Kadang ia memang benar-benar bertanya, tapi kadang ia juga hanya sekedar mengetest kemampuanku. Ya, test argument, argument seorang Gundul yang hanya lulusan SMP dibandingkan diriku yang lebih dari SMP. Aku pun tak peduli, sebab aku suka dengan diskusi.
Buku kecil berwarna putih. Tak terlalu tebal, mungkin hanya sekitar 100 halaman lebih. Buku yang selalu menjadi temannya saat minum kopi. Tapi buku itu juga yang membuat dirinya hidup dengan penuh keraguan, hingga pada banyaknya pertanyaan.
“Apakah hantu itu ada?”, “Apakah kebenaran sejati itu?” bahkan pada pertanyaan "Apakah Tuhan itu ada?", lalu “Bagaimana jika aku hidup menjadi dirimu?”,“Bagaimana aku bisa bahagia?” dan masih banyak lagi. Pada akhirnya dari banyaknya pertanyaan itu, aku pun takjub pada dirinya, saat ia mulai menceramahiku tentang “Apa itu benar dan salah?”[]
Cerpen:
SI GONDRONG BERNAMA GUNDUL
__
Penulis: Ahmad Mustaqim #Sandallll
0 Response to "Si Gondrong Bernama Gundul (Siapa Gundul?) #1"
Post a Comment