Covid-19 dan Peradaban Serba Online

Ahmad Mustaqim (@Sandallll)

Sudah sejak bulan Maret lalu, Covid-19 masuk ke wilayah Indonesia. Mulai dari 2 orang yang terkonfirmasi positif, hingga saat ini (28/04) dilansir dari situs Covid19.go.id sebanyak 9.096 orang dinyatakan positif Covid-19. Dan 765 orang telah meninggal dunia, sedangkan 1.151 orang dinyatakan sembuh. 

Data secara global (27/04) menerangkan sebanyak 2.883.603 orang terkonfirmasi positif dan sebanyak 198.842 dari 213 negara dinyatakan telah meninggal dunia.

Makin hari data makin bertambah, Covid-19 menjelma menjadi sebuah teror maut di seluruh dunia. Maka wajar ketika kita semua berupaya melakukan beragam antisipasi pencegahan agar tidak terinfeksi virus berbahaya yang berasal dari Wuhan, China ini.

Mulai dari penyemprotan disinfektan, menjalankran protokol kesehatan, mengenakan masker sampai dengan kebiasaan mencuci tangan, menghindari kerumunan dan melakukan kegiatan kerja dirumah (Work Form Home) telah dilaksanakan.

Bahkan di bulan Ramadhan ini, tarawih yang biasanya dilakukan ramai berjamaah, kini di imbau untuk dilaksanakan dirumah saja. Tradisi telah berubah.

Berbagai antisipasi itu lantas menciptakan sebuah perubahan yang drastis. Rapat-rapat kini dilakukan secara daring, kuliah juga dilakukan secara daring, bahkan tukang sayur pun menawarkan dagangannya melalui daring (media sosial). 

Ini perubahan yang saya katakan terpaksa, kenapa? Meski sebenarnya metode daring sudah bisa dilakukan sejak dulu (untuk sebuah keefektifan kinerja-tidak ribet), kini imbauan pemerintah memaksa kita untuk tetap survive, tetap produktif kegiatan meski tidak diperbolehkan menciptakan kerumuman, pun di imbau agar senantiasa dirumah saja.

Sistem sekolah harus tetap berjalan, sistem kuliah juga harus berjalan, kerjaan kantor harus tetap dilaksanakan, dagangan-dagangan tetap harus dijual, dan kegiatan apapun tetap harus dilakukan (meski beberapa kegiatan banyak ditunda). Semua harus berjalan, tanpa harus melibatkan banyak kerumuman manusia, dan meminimalisir kontak fisik.

Satu-satunya kerumuman yang bisa dinikmati manusia tanpa repot adanya kontak fisik (yang diwaspadai bisa menularkan Covid19) adalah dengan melakukan segala sesuatunya secara online. Rama-ramai orang mulai menggunakan aplikasi Zoom, Google Meet dan aplikasi-aplikasi meeting online.

Anak-anak sekolah belajar di rumah dengan metode daring, mulai dari pemanfaatan aplikasi Ruangguru hingga metode audio visual dengan menonton tayangan televisi di TVRI dan para mahasiswa memanfaatkan kelas-kelas online di Google Classroom.

Tak bisa dipungkiri pandemi ini memaksa yang tadinya berbagai aktivitas harus dilakukan di luar rumah, kini kondisi memaksa kita untuk tetap produktif menjalankan sistem di rumah.

Bagi saya, masa Covid-19 ini adalah masa peralihan, apa-apa kini serba daring (online). Beberapa dampak positif bisa diperoleh, misalnya para pedagang yang tadinya hanya memiliki relasi pembeli secara offline, kini memiliki jaringan secara online.

Belum lagi kantor-kantor yang melakukan rapat daring, anggaran benar-benar bisa dipangkas, sebab rapat bisa dilakukan dengan mudah, dirumah saja tanpa ada muluk-muluk anggaran besar (makan+transport). Pandemi Covid-19 telah memaksa kita, manusia, untuk masuk ke sebuah peradaban yang serba online.

Apakah kita akan terbiasa dengan peradaban online ini? Kalau salah satu solusi terbaiknya harus begitu, akahkah kita mampu beradaptasi? Kita kali ini telah masuk di peradaban dengan relung kehidupan yang serba baru; digital, cyber, virtual, cloud dan sejenisnya.

0 Response to "Covid-19 dan Peradaban Serba Online"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel