Catatan di Pojok Tambak (#MariBercerita)

Foto hanya pemanis, kalau kemanisan, ya maaf.

Ini kali pertama, bagi saya pergi ke Tambak. Sejak kecil saya sudah diceritakan perihal Tambak; yang banyak udangnya dan kehidupan yang tidak asyik-asyik amat (alias susah).


Tapi, itu cerita dulu, yang sampai akhirnya kini saya datang juga ke Tambak. Usut punya usut, sepupu saya Minggu (20/10) nikah (ehh, saya sendiri kapan? Bentar lagi, tunggu saja).

Kesannya kok waah banget gitu. Saya ngerasa segar dan nikmat dengan pemandangan di sini.  Isis (semacam silir yang weenaakk banget) dari pagi sampai pagi lagi. Katanya sih, ini karena angin laut.

Tambak yang saya datangi tepatnya di Depasena, Tulang Bawang. Lebih khusus lagi di Blok 6. Di situlah kompleks rumah Bulik saya yang mau hajatan.

Untung saya hadir ke sini dalam kondisi sudah gerang, hadir yang nggak hanya sekedar hadir sebagai plesiran. Saya hadir dengan membawa satu sudut pandang, yang kemudian saya benturkan dengan sudut pandang orang-orang di sini, apa itu? Tentang cara hidup.

Memang sih pemandangannya asyik, saya pun suka, sebab ini hal yang baru bagi saya. Tapi ada yang lebih wahhh lagi, yakni tentang cerita orang-orang di sekitar.

Saya mulai membaur, bercerita ini itu, dan main ke sini-situ. Saya bercerita hidup di Metro dengan segala kenikmatannya. Naah di sini, kata mereka, sudah sejak lama, susah listrik. Mereka bisa dapat listrik dengan modal diesel sendiri (juga patungan). Selain itu, saat ini mereka juga sedang susah perihal air, sebab ini musim kemarau.

Ohh yaa.., setiap rumah di sini pasti punya tandon (wadah untuk menyimpan air hujan). Air yang di simpan itu kemudian digunakan untuk kebutuhan hidup, ya mandi, ya minum juga.

Ada lagi cerita tentang sekolah, sekolah yang dekat di sini. Saya tanya ke anak-anak dan ibu-ibu, di sini ada SD-SMP sederajat, sekolah kejuruan juga ada tapi malah justru jurusannya Otomotif. Anak-anak di sini kalau punya uang sekolahnya pasti ke luar kampung (wajar sih, karena pendidikan di sini yaa masih 'kurang maksimal'.")

Anak-anak yang lulus rata-rata nggak pulang lagi dan nggak ngurusin tambaknya, wabil khusus yang lulusan SMA-S1, mereka bangga kerja di luar sana. Jadi karyawan atau kerja apa saja selain di Tambak.

Contohnya, anak Pak Juwanto (kawan dari kawannya ibu saya), punya anak lulusan UM Metro dan MAN Metro. Keduanya kini kerja jadi buruh di Cianjur. Yang lulusan UM Metro kerja di Kimia Farma. Dua anaknya nggak ada yang meneruskan Tambaknya.

Padahal Pak Juwanto ini aktivis yang dulu rela demonstrasi bahkan sampai ke Jakarta untuk nuntut hak milik Tambaknya. Ini di zaman pak Harto dulu. Saat mau pergi demo, ia harus lewat jalan alternatif biar nggak kena Aparat. Pokoknya ia berenang, nyebrang, nyari jalan lain demi sampai ke Bandar Lampung bahkan Jakarta.

Sampai saat ini setelah saya tanya-tanya dan bercerita beberapa hal, di sini sudah banyak tiang-tiang PLN ditancapkan di sepanjang jalan, kabarnya sih listrik sudah mau datang. Dan katanya lagi, mau ada perbaikan jalan. Terus perihal anak-anak yang kurang suka bertambak, orang tua di sini memang masih senang kalau anaknya nggak jadi 'tukang tambak' sepertinya.

Yaa yaa, pokoknya banyak deh ceritanya, sungguh asyik memang mendengar atau bercerita. Pada intinya, realita di sini itu (bagi saya) untuk belajar. Banyak hal bisa dikritisi sebenarnya, tapi mau ditulis di sini sampai ndakik-ndakik, laahh hawane wegah. Wis tak lanjut dolan. Ehh rewang deng.
__
Dok: menyusul (susah sinyal)...

0 Response to "Catatan di Pojok Tambak (#MariBercerita)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel