Perkara Dingin

Metro hari ini (14/11) memang sedang dingin-dinginnya, setelah kemarin sedang panas-panasnya, alias kemarau. Hari ini hujan secara bergilir datang dari pagi sampai sore. Sebenarnya Matahari juga datang, dengan sinarnya yang menerobos paksa si mendung, tapi tak sampai lebih dari 3 jam. 

Suhu yang biasanya 34 derajat celsius lebih, hari ini turun sampai pada titik 24. Kalau pakai AC, angka 24 derajat memang tak terasa begitu dingin, tapi di alam yang bebas ada angin-angin yang datang, yang berterbangan kemana saja, yang membuat suhu semakin lebih dingin.

Foto bergaya ini sebenarnya sedang menahan dingin sedingin-dinginnya di Tangkuban Perahu

Hari ini, sepulang kerja, saya harus mengenakan jaket yang bahkan kemarin malam, saya justru tak butuh jaket sebab malah membuka baju karena kegerahan. Kali ini memang saya butuh kehangatan, selain sedang kedinginan, tubuh ini juga sudah lelah di pekerjaan, makanya harus pakai jaket.

Hawa dingin begini, bagi kebanyakan orang memang enaknya rebahan, kemulan, dan ketiduran dengan nyaman. Tapi untuk kali ini saya tidak melakukan itu. Saya tak di rumah lama-lama, sebab ada rutinan arisan bersama warga, lalu pergi ke komunitas memilih bahan olahan untuk menggarap sebuah media. saya kesana-kemari, makanya perlu jaket.

Perihal dingin, tubuh saya punya cara yang unik dalam memberi kode bahwa ia butuh kehangatan. Pertama, melalui batuk. Kalau sudah merasa dingin dan batuk, saya sadar, ini butuh minum air anget, entah itu kopi, teh atau hanya air biasa. Lalu, kode meminta yang muncul secara auto dari tubuh saya selain batuk adalah menggigil. Barangkali ini hal unum, tapi menggigil adalah puncak kode kedinginan luar biasa bagi tubuh saya.

Saya punya cerita, tentang dingin, yakni ketika berada di sebuah ketinggian. Dulu saya pernah di Tangkuban Perahu, berada di puncak untuk menikmati kawah dan pemandangan sekitarnya. Tapi sayang suasana berkabut, mendung, angin kencang sekali dan saya justru menikmati dinginnya suasana dengan suhu 12 derajat celcius. Bahkan hujan juga datang. Sayangnya saya cuman membawa amunisi sweater saja. Hampir satu jam dilokasi, hidung saya langsung meler, nggak kuat, menggigil juga. Tapi syukurlah ada bakso disekitar saya.

Pernah juga ketika berada di Bromo Tengger Semeru. Kala itu saya tepat di sebuah bukit bernama Puncak Kingkong. Niat memilihnya di sana untuk menikmati Sunrise, tapi apa daya tak di dapat juga Sunrise itu. Sebab cuacanya tak mendukung, dan karena memang sedang musim hujan. Sama seperti waktu di Tangkuban Perahu itu, suhunya dingin sekali, bahkan sangat dingin, pun anginnya kencang sekali, dan saya hanya bermodal sweater dirangkap kaos saja.

Teman-teman saya yang lain memilih untuk mengenakan jaket tebal yang disewanya dari penginapan. Tapi walau sudah berlapis kain yang menutupi kulitnya, tetap saja dinginnya suhu di Bromo menusuk kulit sesukanya. Ada teman saya yang kedinginan bahkan bibirnya sampai membiru. Kalau saya tentu seperti biasa, menggigil dan sesekali batuk. 

Meski dengan alat seadanya yang saya punya itu, saya masih saja kuat berdiri dan tertawa bahkan bercerita dikala teman-teman yang lain memilih turun dari bukit dan beristirahat merasa tak kuat. Sampai akhirnya saya dibonusi lautan awan yang bisa saja terlewatkan jika saya memilih untuk turun bukit.

Sebelum saya jumpai lautan awan yang (paling tidak mengganti ekspektasi Sunrise) indah, di Bromo tersebut saya ketemu sosok bule yang wow banget. Jadi ketika saya menggigil dan harus jongkok lalu membiarkan tubuh melakukan batuk (ini ternyata disebut juga sebagai proses/gejala adabtasi diri/tubuh), sosok bule itu lewat dengan jojongnya di depan saya, bahkan hanya pakai kaos oblong —polos, dan kolor boxernya. 

Jadi benar-benar kosongan kalau menurut saya. Ketika banyak orang mengenakan pakaian berlapis supaya hangat, bule ini justru sebaliknya, kaosan tok til. Lalu, saya mbatin, “Iki bule kulite ancen koyo badak po yo?”

Tapi, untuk hari ini saya bukan lagi kepikiran perihal apakah benar itu bule punya kulit badak, kini lebih kepada apakah perihal dingin atau kedinginan itu sesuatu yang bisa dilatih, bukankah sesuatu itu jadi bisa karena biasa, atau yang lebih mendasar lagi jangan-jangan perihal dingin itu memang bisa diciptakan dengan mudah lewat sugesti? Saya yakin setiap kalian yang ingin menjawabnya pasti punya jawaban berbeda, sebab setiap individu punya kesan dan pengalaman yang berbeda-beda dengan tubuhnya masing-masing.

0 Response to "Perkara Dingin"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel