Identitas (Mantan)
01 October 2018
Add Comment
Mantan, satu kata
sejuta rasa, begitulah kiranya defisiniku. Kata yang selalu menjadi bahan
tertawa sekelompok manusia aneh. Manusia-manusia itu adalah temanku dan tak
lain adalah diriku sendiri. Aku dan empat temanku lainnya menamakan kelompok
manusia aneh ini dengan Gorengan (Gerombolan remaja kangenan).
Gorengan hanya
beranggotakan lima orang dan semuanya adalah makhluk yang katanya paling
sensitif, perasa, atau sebut saja baperan[1].
Deklarasi Gorengan dilakukan ketika
Anin, temanku yang paling berani tapi juga cengeng diputuskan pacarnya.
“Aku diputusin!!”
ucapnya mengagetkan aku dan tiga temanku di kamar kos. Mukanya datar, lalu
berubah merah seketika penuh emosi. Tanpa lepas sepatu Anin pun langsung masuk
kamar kos dan membanting tasnya di kasur.
Empat orang di kamar
kos yang sedari pulang sekolah tadi sudah asyik curcol[2]
sambil tertawa kini langsung berubah suasana. Ibarat baru saja makan sop panas,
tiba-tiba langsung minum Es.
Saat kami masih kaget dengan
pergantian suasana batin, tiba-tiba terdengar suara kepedulian, “Kok bisa,
Nin?” sahut Siti, salah satu teman kami yang paling tua.
“Ahh, pasti dianya itu sudah punya cewek lain. Alasannya gak jelas,”
jawab Anin sembari meremas bantal dan menggigitnya dengan sebal.
“Ehh, jangan gitu dong, Nin. Ini kos gak ada subsidi bantalnya, loh,” Natali mulai angkat bicara, maklum
pemilik kamar kos berukuran 3x3 meter ini sering dimarahi ibu kos karena
tingkah kami. Bukan karena merusak properti, tapi berisiknya tawa kami.
Anin makin emosi,
dilemparnya bantal itu ke dinding, “Argggh,
coba kalau bantal itu muka dia. Aku remas, ihhhh,
aku tonjok biar tahu rasa!”
“Beraninya pas pulang,
kalau di lokasi paling cuma diam terus lari kesini dan nangis, hahahaha,” Ghea membuat suasana makin
berbeda. Kami tertawa, tapi tidak dengan Anin. Ia justru mengepalkan tangan ke
arah Ghea dengan mata melotot.
“Sudah-sudah, disini
bukan tempat buat sedih-sedih gitu. Jangan saling marah. Disini kita harus
senang. Masalah begituan jangan dibawa serius. Biarkan dia pergi, Nin. Dia
sudah jadi mantanmu, tapi jadikan dia orang yang selalu memotivasimu untuk
perbaikan diri,” ucapku menengahi.
“Dan jadikan dia mantan
terindah dalam kenangamu, sampai susah move
on, hahahaha,” Ghea kembali membuat kami tertawa.
“Gheeeaaaaaaa..!!”
teriak Anin hingga ibu kos datang menegur kami.
Sejak Anin diputus pacar
pertamanya itu, kami berempat jadi sering curhat masalah cowok di kos Natali,
terlebih masalah mantan. Dan di kamar kos itulah sejarah tercipta, Anin berkata,
”Kita ini sebenarnya gerombolan remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
kangenan, isinya curhat mantan terus. Bagaimana kalau kita ini buat grup
bernama Gorengan, Gerombolan remaja kangenan?”. Tanpa perdebatan yang panjang kami
pun sepakat. Sebenarnya sepakat karena faktor masa bodo.
Tapi ada yang tak enak
ketika aku teringat nama Gorengan. Bukannya aku teringat sebuah makanan enak
khas Indonesia, makanan seluruh golongan, makanan merakyat yang tak pandang
bulu entah itu kaya atau miskin, semuanya suka. Ketika aku ingat Gorengan,
bahkan ketika aku melihat makanan gorengan, aku selalu ingat mantanku. Inilah
yang membuatku jadi susah move on. Memangnya
mudah, ya, melupakan mantan, bukankah mantan itu merupakan bagian dari sejarah
kehidupan kita?
***
Masa SMA memang masa
yang paling indah, masa yang penuh dengan cerita-cerita mengesankan. Dari
cerita motivasi bapak/ibu guru, cerita kenakalan di kelas bahkan sampai cerita
percintaan masa SMA. Tapi se-mengesankannya masa SMA, tetap saja mantan
terindah yang paling berkesan. Aku pun yakin semua orang pasti punya masa-masa
indah ketika berseragam abu-abu, bahkan sejelek apapun kenangan masa itu. Jika
kenangan itu dilihat dari rentang waktu yang jauh, yakinlah itu bakal menjadi
kenangan yang indah bahkan malah lucu bukan lagi kenangan jelek.
Semua kenangan masa SMA
begitu terasa ketika kubuka kembali jejak digital di Facebook. Ada foto bersama teman sekelas dan guru ketika selesai
praktik Kimia di Laboratorium, foto bersama ketika teman satu kelas ulang
tahun, dan foto-foto ketika masa kelulusan SMA berlangsung, ya, masa-masa
perpisahan. Tapi sekilas ada satu foto yang membuat mataku langsung terfokus
tajam, membawa alam pikiranku pada masa-masa yang sulit kulupakan.
“Dia? Apa kabar?”
kataku meski dalam hati. Kulihat sebuah foto ketika aku masih kelas XII SMA,
satu-satunya foto yang lupa kuhapus. Foto ini muncul di albumku bukan karena
aku yang menguploadnya, tapi hasil tag
dari temanku. Kulihat dengan seksama foto tersebut hingga aku pun tertawa
ketika teringat kenangan di dalamnya.
“Hoy!!!, ketawa sendirian saja, Fi. Mirip orang gila,” seseorang
mengagetkanku dari belakang. Suara lelaki ini mengganggu ketenangan dan laju
perjalanan memori di otakku.
Mataku melotot, diam
beberapa detik dan bengong, lalu satu kata muncul dari mulutku, “Bam?”
“Ha? Ehh, kenapa bengong?” jawabnya sambil
bertanya balik akan keanehanku. Lima detik aku melihatnya melambai-lambaikan
tangan di depan wajahku memastikan aku sadar. Secepat itu pula otakku menemukan
banyak pertanyaan.
“Sama siapa, Bam,
disini? Kenapa kamu disini? Sudah lama kamu disini?...,”
“Heh,” satu kata darinya membuatku terdiam. Lelaki ini pun langsung
duduk di depanku. “Itu tanya beneran apa lagi kesambet hantu wartawan, Fi?”
“Beneran, Bam, kamu
kenapa disini?”
“Ya, liburan, lumayan refreshing. Aku ambil cuti kantor 3
hari, Fi. Kamu lagi apa disini, sendiri lagi?”
“Emm., ini aku lagi santai saja. Nunggu Gorengan.”
“Memangnya ada gorengan
disini, Fi?”
“Ehh, bukan itu maksudnya. Tapi nunggu Ghea, Siti, Anin, sama
Natali. Mereka mau kesini.”
“Waah, kebetulan aku kangen mereka, nih. Seperti apa mereka
sekarang.”
Mampus!! Satu kata itu
yang langsung muncul di benakku. Kalau mereka tahu, ini bakal jadi bahan obrolan
yang tak akan ada habisnya. “Duuh, Bambang, kenapa sih kamu disini,” perasaanku
cemas.
Bambang, nama yang
mungkin sekarang sudah jarang digunakan lagi. Nama yang biasa digunakan laki-laki
di Indoneisa ini memiliki arti seorang prajurit atau ksatria yang penuh
karisma. Dan kupikir nama ini sering digunakan oleh masyarakat adat Jawa
seperti pamanku yang juga bermana Bambang. Tapi Bambang di depanku ini bukan
orang berdarah Jawa. Ibunya adalah keturunan Tionghoa dan ayahnya asli orang
Batak, entah kenapa ia diberi nama Bambang, lengkapnya Bambang Nasution. Sempat
aku bertanya sewaktu SMA dulu, ia menjawabnya dengan candaan, “Mungkin karena
ayahku suka dengan adat Jawa.” Tapi, sewaktu aku diajak kerumahnya, ayahnya
sama sekali tak bisa berbahasa Jawa justru terasa asli gaya bahasa Bataknya.
Dan katanya lagi, nama Nasution memang digunakan karena orang tuanya ingin sang
anak menjadi seorang yang hebat layaknya Jenderal A.H. Nasution.
Kupikir memang wajar,
Bambang orang yang tegas, seorang yang jiwa pemimpinnya sudah ada sejak dulu.
Ketika SMA saja ia selalu menjadi ketua, baik itu ketua kelas sampai ketua OSIS
sekalipun. Dan satu hal lagi, dia juga sempat menjadi pemimpin dihatiku yang
selalu mengontrol datangnya rindu tak tertolong sampai menyesakkan dada. Tapi
mungkin karena keegoisanku, kali ini dia bukan lagi pemimpin hatiku.
“Ehh, By the way. Itu foto masih ada saja ya, hahahaha.”
Sial! Pasti dia tahu
apa yang kulihat tadi, sebuah foto yang ditandai dari Anin sewaktu aku ulang
tahun dan menerima kejutan darinya. “Aduuhh, aku harus bilang apa? Jangan salah
tingkah, Sofia. Enjoy!” tenangku
untuk diri sendiri.
“Tadi buka album-album
di Facebook, Bam. Ketemu foto tag dari Anin. Maklum sudah lama Facebook gak kebuka.”
“Sama saja, mungkin Facebook ku sekarang sudah sawangan[3],
Fi. Ehh, Mau coba kopi khas Lampung, sekalian
keripik pisang?”
“Di cafe ini memangnya
ada keripik pisang?”
“Semua khas Lampung ada
kok”
“Okelah,” jawabku
singkat sembari memberi kabar ke anggota Gorengan, memastikan apakah mereka
benar-benar datang. Harapku mereka semua punya kesibukan mendadak.
Dua menit aku dan
Bambang saling diam, saling sibuk dengan smartphonenya masing-masing. Kulirik
sekeliling dan sesekali kulihat keatas menikmati indahnya bulan.
“Sekarang kamu sibuk
apa, Fi?” Bambang membuka obrolan.
“Aku jadi jurnalis
media, Bam.”
“Baguslah, berarti tadi
bukan kesambet hantu wartawan,, hahahaha.”
“Huu..,”
“Singkat banget
jawabnya.”
Jujur saja aku bingung
mau ngomong apa, sudah lama aku tak lagi berhubungan dengan dirinya. Bukan
karena aku tak mau, tapi malu saja. Sebagai perempuan rasa maluku memang
tinggi.
“Sudah lama tinggal di
Lampung, Fi?”
“Baru hari ini, Bam.
Aku gak menetap lama disini. Kami berlima cuma liburan, besok mau snorkeling ke
Pahawang.”
“Wah, Keren tuh di Pahawang. Ikan Nemo dan lainnya bakal memanjakan
mata. Keindahan terumbu karangnya juga.”
“Ohh, ya?” tanyaku
memastikan bahwa itu bukan hanya kalimat promosi.
“Tabok deh ini pipi
kalau gak percaya. Ehh, kamu tahu apa
lagi yang unik dari Lampung selain, Kopi dan Keripik Pisangnya?” ia mencoba
serius.
“Lampung? Terkenal
Taman Way Kambasnya.”
“Nah itu tahu, udah gak
asing sama Lampung dong, Fi.”
“Duh., Bam. Info begituan banyak di Internet. Biasa saja kali.”
“Apa isinya Way
Kambas?”
“Banyak Gajahnya, Bam.”
“No.., no..!” ia menyalahkanku. “Banyak, Natali disana, hahahaha.”
“Hahahaha, parah kamu, Bam. Tapi benar juga sih,” suasanapun kian
cair. Tanpa sengaja kami saling berbagi cerita, pengalaman-pengalaman lucu dan
melupakan pengalaman/kenangan kami berdua masa lalu.
“Bam, aku mau tanya
serius. Sampai sekarang aku masih penasaran, kenapa namamu Bambang Nasution?”
“Waah., aku heran.”
“Apanya yang
mengherankan, Bam?”
“Kamu penasaran terus
sama nama aku, berarti aku selalu ada di pikiranmu, Fi.”
Gila ini Bambang, aku
pun hanya tersenyum, “Ini serius, Bam!”
“Jadi begini, Fi.
Ayahku itu..,” belum lagi ada jawaban jelas, para anggota Gorengan datang
dengan suara gemuruh.
“Cieeeee...,”
suara Ghea memang lantang. Kini mereka justru membuatku semakin penasaran akan
nama Bambang Nasution.
***
Benar
apa yang dikatakan Bambang, seberapa lama aku penasaran dengan namanya itu,
selama itulah aku selalu memikirkannya dan tak akan lupa dengannya. Bahkan
hingga kini aku sudah berkeluarga pun dirinya dan pertanyaan itu masih ada.
Tadinya aku tak ingin tahu akan hal itu, tapi seseorang justru membuatku jadi
tahu.
“Ohh, foto itu lagi. Masih ada rupanya.”
“Mas! Ini kan cuma foto
waktu SMA dulu,” tegasku pada suami.
“Pasti ada yang buat
kamu penasaran kenapa foto itu masih ada, katakan padaku,” ucapnya tepat
disampingku sembari membelai rambut panjangku.
“Namanya Bambang Nasution,
Mas.”
“Nama yang bagus. Aku
tahu orang itu adalah orang yang baik bagimu. Seorang yang memiliki darah campuran
antara Tionghoa dan Batak, tapi malah diberi nama unik yang katanya dari Jawa,
Bambang Nasution. Orang itu dapat nama Bambang karena ibunya. Ibunya lah yang
menyukai karya-karya Jawa dan budayanya, seperti Wayang Kulit, bahkan lagu-lagu jawa sering diyayikannya, maka diberilah
nama Bambang. Konon nama Bambang adalah seorang dalang legendaris favorit
Ibunya.”
Aku hanya fokus dan
mengangguk mendengar narasi suamiku ini. Lalu ia melanjutkan, “Kalau Nasution,
itu nama yang diberikan dari ayahnya. Katanya, itu agar dirinya bisa menjadi
seorang jenderal hebat layaknya Nasution. Ayahnya sebenarnya ingin melihat
Bambang menjadi seorang tentara, layaknya dirinya.”
“Nama, yang hebat ya,
Mas,” aku tersenyum. Tapi tidak dengan suamiku.
“Mau dengar lagi tentang
Bambang biar puas?”
“Kalau itu maumu, Mas.
Silakan,” jawabku menurut kehendak suami.
“Bambang Nasution,
orang campuran Tionghoa Batak ini punya fisik yang dominan dari ibunya. Matanya
sipit. Sekilas kalau dilihat orang itu asli Tionghoa. Orang yang menguasai 5
bahasa ini: bahasa Tionghoa, Batak, Inggris, Jawa dan Indonesia ini sebenarnya
justru sering dan fasih menggunakan bahasa Jawa.
“Hebat, ya, Mas.”
“Bukan itu sebenarnya
yang ingin ditunjukan dari dirinya yang sebenarnya. Dia merupakan orang yang
tak suka disebut-sebut seluruh identitasnya itu. Kecuali satu hal.”
“Apa, Mas?”
“Dia senang disebut
sebagai orang Indonesia.”
Mendengar kalimat
terakhir dari suamiku itu aku langsung membuat kesimpulan sederhana. Bambang
Nasution adalah orang asli berdarah Tionghoa dan Batak, mahir dan suka budaya
adat Jawa. Lelaki yang menguasai 5 bahasa ini memiliki satu anak laki-laki dari
Istrinya yang berdarah Jawa. Satu pertanyaan dariku, mewarisi darah apa anaknya
itu? Maka disitulah aku tahu kenapa dia senang disebut orang Indonesia. Sebab
Indonesia itu kaya dan ia bangga menjadi bagian dari kekayaan Indonesia itu.
Dia punya darah Tionghoa, Batak ataupun Jawa dan anaknya sendiri yang jelas
keturunan dari banyak suku itu. Itulah kenapa ia cinta pada Indonesia,
sebagaimana ia juga cinta pada istrinya ini, Sofia.
“I love you, Mas,” ucapku pada suami tercinta bernama Bambang Nasution.[]
___
Penulis:
Ahmad Mustaqim. (100 best short story of EventHunterIndonesia).
[1] Baper = Bawa Perasaan
[2] Istilah remaja untuk menyebut
Curhatan
[3] Istilah Jawa untuk menyebut
sesuatu yang sudah tidak dipakai sampai bersarang (sawang) laba-laba
0 Response to "Identitas (Mantan)"
Post a Comment