Joker dan Kebenaran Subjektif yang Berbahaya

"Joker tidak jahat, yang jahat pikiranmu."

Joker, kita lebih mengenalnya sebagai kartu paling spesial dari kumpulan Kartu Remi. Pada salah satu tipe permainan (Saya menyebutnya main Pacul), Joker adalah kartu yang paling perfect, paling tinggi derajatnya dari yang lain. Jika lawan mengeluarkan kartu As entah berwarna merah atau hitam, Joker bisa datang dan langsung membungkam serta mengalahkannya.

Belakangan orang geger dengan Joker, Filmnya rilis tanggal 2 Oktober 2019, dia adalah penjahat, katanya. Yang sudah nonton Batman dan baca komiknya, pasti kenal lebih dulu dengan Joker ketimbang saya. Lha wong baru semalam saya memahami si Joker dengan menonton filmnya. Sejak viralnya Joker, banyak meme bertebaran, bertuliskan, “Orang jahat adalah orang baik yang disakiti.” Lantas apakah joker memang orang jahat?

Jahat atau tidak itu subjektif. Kalau dilihat dari sudut pandang moralitas, perbuatannya memang buruk sekali, sebab dengan mudahnya ia membunuh manusia. Tapi dari perbuatan itu, toh dia juga punya kelompok yang ternyata membelanya (cek diakhir filmnya). Artinya apa yang dilakukan oleh Joker dianggap benar oleh kelompoknya tersebut.

Joker jahat? Iya, lha wong ora manusiawi mergo gampang le mateni. Tapi, Joker juga baik menurut sudut pandang kelompoknya, sebab ia mewakili beberapa kegelisahan kelompoknya yang kemudian terlampiaskan oleh brutalnya si Joker. Kebenaran memang subjektif, tinggal dari sudut mana mau mendefinisikan.

Subjektivitas Joker

Subjektif, yang artinya (mendefinisikan segala sesuatu) berdasarkan kemauan si subjek. Itu menurutku, entah menurutmu. Kita (anggap saja) sama-sama tahu bahwa kebenaran letaknya di dapur. Berbagai perabotan dan bahan olahan ada di sana. Di dapur itulah kita meracik dan membuatkan hidangan untuk orang lain. Perihal dapur, seharusnya orang lain tak mesti harus tahu, yang terpenting bagaimana output / hidangan tersebut bisa diterima orang lain (atau dalam konteks sosial: maslahat). 

Di film Joker, yang menarik adalah ketika dia bilang begini, “Komedi sangat subjektif. Sama seperti bagaimana kau memutuskan untuk lucu dan tertawa. Semua orang jahat dan membuatku semakin gila. Orang menganggap jahat juga sangat subjektif karena tidak ada yang tahu dan tidak ada yang mengerti orang lain.”

Di sinilah akarnya, Joker menganggap apa yang dilakukan sebagai kebenaran yang wajar. Dia sangat yakin dengan kesimpulan definisinya. Dia bilang, “Aku pikir hidupku ini tragedi. Namun kini aku sadar ternyata hidupku komedi.” Apa yang dilakukannya secara brutal dianggapnya hanya sebatas komedi, membunuh adalah lelucon, dalilnya jelas pada subjektivitasnya tadi.

Konsep subjektivitas Joker memang benar, bahwa manusia berhak akan definisinya sendiri, tapi lantas tidak harus memaksakan definisinya tersebut dengan semena-mena /mengobjekan manusia yang lain. Parahnya subjektivitas Joker ini menjadi bahan luapan emosinya--tindakan brutal. 

Saya membayangkan jika banyak manusia tidak memahami perihal subjektivitas ini. Kesimpulan akan kebenaran yang ada di dalam dirinya dan melupakan bahwa orang lain juga merupakan subjek (yang punya kebenaran berbeda), maka ia akan menjadi manusia yang paling benar. Bahkan kadang memaksakan kebenarannya pada mereka yang benarnya berbeda. Kalau sudah begini? Kerok sudah, karena nggak akan saling memahami.



0 Response to "Joker dan Kebenaran Subjektif yang Berbahaya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel