Gara-gara Susu

Sore kemarin (21/02), Metro sedang cerah-cerahnya. Kemarin-kemarin hampir bisa ditebak, tiap sore pasti hujan, tapi kali ini cuaca sedang baik.

Cuaca yang baik ternyata tidak membuat saya juga jadi baik, saya sudah dua hari migren (sakit kepala sebelah), sebab itu saya berencana membeli Susu Beruang yang iklannya Naga di sebuah toko swalayan pojok Kelurahan Banjarsari.

Dengan kepala berat yang sedari tadi ingin di sandarkan, saya masuk toko, setibanya di dalam saya di sapa mbak-mbak kasir sembari tersenyum, "Selamat datang di Indomaret, selamat berbelanja."

Saya jawab, "Iya, mbak," lalu pergi ke lemari es untuk mencari barang yang saya maksud.

Setalah saya dapatkan, saya mendekati mbak kasir hendak membayar barang yang saya bawa, tapi saya harus antre terlebih dahulu.

Di depan saya, sedang dilayani, ada bapak-bapak yang juga membeli susu, bedanya si bapak beli susu untuk Balitanya. Sembari menunggu hitungan total pembayaran, mbak kasirnya menyapa, "Rotinya sekalian, pak?" sembari senyum ramah.

Lalu dilanjutkan, "Pulsanya sekalian, pak?"

Si bapak diam saja, tidak mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan wajahnya datar.

Mbak kasirnya tetap melakukan hal yang sama dengan baik, ia menawarkan produk yang sedang promo, "Buahnya juga, pak, lagi promo?"

Dan si bapak tetap diam saja sembari menatap mbaknya.

Saya mencoba masuk ke dalam diri si mbak kasir, menjadi dirinya dan menilai dengan versi saya sendiri, berdasarkan lakon yang baru saja dia lakukan dan dampak yang didapatkan.

Setahu saya dia digaji, dan memang dibentuk untuk menjadi pelayan yang baik dengan senyum sapa yang dilakukannya.

Hal tersebut terlihat dari cara menyapa saya ketika baru masuk, sedangkan dia sendiri sedang sibuk-sibuknya melayani pembelian orang lain. Pun dengan menyapa dan menawari si bapak ini (dengan baik tentunya), yang akhirnya hanya dicueki.

Di sini saya jadi greget sendiri, "Kok ya si bapak ini ditanya nggak jawab." Saya kepikiran; ini mbaknya apa ya nggak kerasa nyesek banget sudah baik-baik menyapa, melayani, malah di cueki.

Saya juga kepikiran jangan-jangan para karyawan toko swalayan selain mbak kasir ini selain diajari untuk ramah dengan salam senyum sapanya tapi juga harus belajar kebal dengan kecuekan setiap pembelinya. 

Mereka itu kalau tidak melayani dengan salam senyum sapa sebaik-baiknya, ya jelas dipotong gaji, atau di denda yang jelas tidak mengenakan secara pribadi. Di sini saya merasa greget, mbok ya mereka tuh jangan dicuekin, disapa mbok ya disauri, misal ditawari dan memang nggak mau ya bilang nggak mau. Kasian kasir-kasir yang sering dicuekin. Bayangkan saja diri sendiri yang dicueki. Bagaimana rasanya?

Tapi, ehh tapi, saya juga mencoba untuk masuk ke dalam diri si bapak, menjadi dirinya dan mencoba merasakan apa yang sedang terjadi pada si bapak yang cuek itu menurut versi saya sendiri.

Saya kepikiran, "Jangan-jangan si bapak ini memang sedang badmood. Jadi ke bawa pada suasana beli susu Balitanya. Mungkin bapaknya pemalu, atau bapaknya sedang bisu."

Dan akhirnya saya malah jadi kasihan pada keduanya. Ya si kasir yang dicuekin, ya si bapak yang (mungkin sedang) badmood-badmoodnya.

Saya belajar, awalnya saya ingin seolah menyalahkan si bapak yang cuek tapi saya ingat, jangan pernah menyalahkan hanya pada satu sisi, si mbak di cuekin barangkali sudah biasa, jangan-jangan saya saja yang sok peduli. Si bapak cuek-cuek saja juga barangkali memang sedang berada dalam keadaan masalah.

Tapi terlepas dari semua maksud kejadian itu, saya menanamkan pada diri saya sendiri untuk, "Berbaik-baiklah kamu pada siapapun yang memperlakukanmu dengan baik."
__

"Mas, ini sisa Rp.100, bisa disedekahkan saja?" ujar Mbak Kasir ke saya.

"Saya tabung di (Indomaret) sini ae lah yo, mbak."

Mbaknya ketawa dan saya pun pergi.

0 Response to "Gara-gara Susu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel