Senjata Biologis
25 March 2020
Add Comment
Hujan kian deras. Kami berdua masih bersantai ria di kost, menunggu sunyi dan kemudian akan tertidur pulas.
Derasnya hujan membawa berkah, tak disangka, bagaikan petir yang datang tanpa permisi, tiba-tiba kepalaku memroses suatu sistem biologi yang mengasilkan sebuah pertanyaan.
"Man, kenapa tiba-tiba hari ini aku merasa takut."
Tiba-tiba ia terbangun dari rebahannya yang santai itu, "Tak biasanya kau merasa takut seperti ini, ada apa?"
"Dunia sedang ramai, gaduh, hari ini aku merasa takut, tapi aku kadang merasa biasa saja. Ketidakpastian antara takut dan biasa saja itu membuatku jadi bertanya; Bagaimana jadinya nanti, jika dalam urusan politik (kepentingan) di dunia ini, manusia akan berperang dengan senjata biologis, semacam virus?"
"Apakah dunia dalam pikiranmu itu akan selamanya perang?"
"Ya, aku percaya, dalam hal kecil semisal argumentasi saja kita selalu perang. Itu baru hal kecil, kepentingan kecil, bagaimana dengan kepentingan yang besar, Man!?"
"Hmm, bisa benar juga perkataanmu itu. Kalau dunia perang dengan Nuklir, itu bisa lebih mudah, meski terjadi pembunuhan massal yang tak manusiawi. Tapi penanggung jawabnya jelas, ya, si pelaku. Tapi kalau virus yang dibuat untuk senjata?"
"Alih-alih bahasanya tentu virus itu sendiri yang jadi penyebab dan penanggung jawab, virus yang akan di kambing hitamkan, yang menciptakan, orang yang berkepentingan itu tentu punya anti-virusnya," balasku.
Ia kembali merebahkan badannya, kembali bersantai dan bergaya Sherlock Holmes, meski aku tahu ia sedang berpikir, mencari argumentasi untuk dialog ini.
Tapi lama-lama kami berdua malah saling diam dalam riuhnya ruang pikir dan dunia luar yang penuh petir. Aku yang duduk di depan kamar kost masih menunggu tanggapan si Salman. Namun tanpa aku sadari ternyata dia sudah tertidur.
"Woii, Man, kenapa tadi kita ini malah berpikir yang tidak-tidak."
Tiba-tiba ia menjawab, "Tak apa, beruntunglah kita yang masih mau berpikir."
#PikiranSalman
0 Response to "Senjata Biologis"
Post a Comment