Kopi dan Perkara Hidup

Ada tiga keinginan sebenarnya di Minggu pagi menjelang siang ini, Minggu terakhir tahun 2019, keinginan untuk menikmati minuman apa. Setelah selesai mandi, saya dihadapkan pilihan mau tidur atau mau nonton film.  Tapi akhirnya memilih untuk menonton film.

Kopi hari ini, sudah di isi penuh kembali.


Menonton film tanpa ada yang disanding juga kurang asyik, sebab bisa saja saya menontonya dan tiba-tiba ngantuk lalu memilih untuk tidur. Akhirnya saya ke dapur, memilih minuman untuk menjadi teman saya menonton film.

Ada 3 bahan yang bisa diolah, ada Teh, Kopi, dan Susu. Ibu memberi saya saran untuk membuat Susu, tapi saya akhirnya memilih membuat Kopi. Dua sendok kopi dan satu sendok gula, dicampur dan diseduh dengan air panas lalu diaduk searah jarum jam dengan santai. Kopi pun siap diminum.

Kopi saya pegang, lalu saya bawa ke depan. Sebelum kopi disruput dan diminum, saya lupa kalau rambut saya ini masih berantakan. Saya pun mampir dulu menghadap kaca dan memandang wajah saya yang super tampan. Tangan kiri memegang mug berisi kopi dan tangan kanan memegang sisir (atau jungkat).

Kejadian tidak menyenangkan pun menimpa tangan kiri saya, sebab terlalu fokus pada kaca dan menyisir-nyisir rambut yang tidak panjang-panjang amat. Entah kenapa, saya hilang fokus sampai memegang mugnya jadi miring, alhasil kopi tumpah dan rasa panas langsung merasuk di kulit tangan kiri saya.

“Untung ini mug tidak jatuh,” ucap saya setelah setengah isi kopi tumpah dan air panasnya membasahi tangan. Dasar saya! Apa-apa tetap dibilang untung. Pun juga heran, yang tiba-tiba kepikiran saja perihal sepele untuk dipelajari dari kopi tumpah hari ini, yakni perihal pengorbanan.

Semua sebab peran tangan saya yang rela merasakan panas-sepanasnya air kopi tanpa mau menjatuhkan mug. Ketika terasa nyoss panas, saya kaget, tapi tangan tetap erat memegang mug, menahan panas sampai kemudian tiba waktu untuk menaruh mug dan melap tangan dengan kain.

Belajar dari tangan kiri yang sejenak rela panas untuk melindungi sesuatu yang menjadi bagian dari dirinya, kopi dan mug. Menahan panasnya air, melindungi pecahnya mug (jika jatuh) dan menyisakan setengah kopi untuk bisa dinikmati. Untung saja tadi saya tidak refleks melepas mug. Kalau itu terjadi, pecah sudah, mug dan kopi ambyar sudah. 

Refleks adalah gerak tanpa sadar yang spontan begitu saja, otomatis, seperti kagetnya saya tadi, tiba-tiba. Saya kemudian mencoba membayangkan pada realita kehidupan. Dalam hidup segala masalah terus berdatangan. Saya sendiri yakin bahwa hidup itu sendiri adalah masalah. Selanjutnya tinggal bagaimana menyikapi masalah-masalah tersebut.

Akan ada suatu masalah yang datang tiba-tiba semacam air kopi panas yang tumpah di tangan saya, tidak disengaja, tau-tau ada. Kita langsung merasakan panas akan masalah tersebut, kaget, lalu selanjutnya tinggal bagaimana menghadapinya.

Apakah dalam menghadapi atau menyikapinya hanya sebatas dengan refleks saja, gerak spontan yang dilakukan secara tanpa sadar, ibarat hanya melampiaskan emosi-emosi sesaat dalam masalah tersebut yang justru menimbulkan masalah baru?

Atau memilih sedikit ada yang dikorbankan untuk kemudian mampu mempertahankan idealis / keyakinan dalam menjalani kehidupan? Seperti tangan kiri saya, yang tetap mempertahankan nikmatnya kopi dan pentingnya mug untuk menjadi teman nonton film bagi saya. Apapun jawabannya, semua tetap saja tergantung. Tergantung individunya.

0 Response to "Kopi dan Perkara Hidup"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel